Awal kehidupan
Franz Dahler menulis buku renungan filosofis mengenai asal-usul kehidupan alam semesta dan manusia dengan judul Pijar-Pijar Peradaban Manusia. Dengan mengacu pendapat dan teori ilmuwan dikatakan bahwa asal mula kehidupan adalah panas. Panas itu menimbulkan letusan dahsyat yang disebut big bang.
Panas terserak ke mana-mana dan memadat. Ada yang tetap panas seperti
matahari ada yang menjadi dingin seperti bumi dan bulan. Kemudian
muncullah zat air dan oksigin. Sejak itulah terbit fase kehidupan di salah planet satu yang disebut bumi yang kita diami ini.
Yang penting kita mengerti adalah bahwa air –
selain oksigen – adalah syarat mutklak adanya kehidupan, kehidupan yang
berkelanjutan, baik tumbuh-tumbuhan, hewan dan terutama manusia. Maka
para ahli berpendapat bahwa peradaban manusia sangat tergantung dari
sikap dan pergaulannya dengan air.
Permasalahan air
Sekedar
ilustrasi: Di mana ada sungai di situ ada pemukiman. Bahkan kota-kota
besar di dunia adalah kota-kota di tepi sungai-sungai besar. London
dengan S. Times. New York dengan S. Houdzon. Kairo dengan S. Nil. Tokio
dengan S. Sumida. Jakarta dengan S. Ciliwung. Surabaya dengan S.
Brantas. Jogjakarta dengan S. Krasak, dlsb.
Di Italia ada ribuan km saluran air yang diberi nama aqueduct dan
sudah dibuat pada abad ke 4 SM, baik saluran terbuka, terowongan
ataupun bertingkat. Di Belanda ribuan saluran lebar dibuat untuk
transportasi dan wisata. Ketika menjajah Nusantara Belanda membuat
ribuan km saluran air di P. Jawa. Belandalah satu-satunya negara yang
jago ilmu air.
Perlu
menjadi pengetahuan kita bahwa ada wilayah bumi dengan 4 musim ada yang
hanya dua musim. Di wilayah empat musim, tidak pernah ada masa kemarau
panjang yang menghabiskan air di sungai maupun di dalam tanah. Pada
musim dingin air berubah menjadi es. Lainlah dengan wilayah tropis. Pada
musim kemarau panjang air sungai menyusut drastis sampai kering. Air
tanah tinggal yang di kedalaman di bawah ratusan m. Maka sumur asat.
Jadi diwilayah tropis dengan sendirinya ada kerawanan air kehidupan.
Menariknya bahwa di wilayah bumi empat musim, pergaulan manusia dengan air jauh lebih eksploratif, kreatif, inovatif. Ilmu air berkembang. Ada Hydrobbiologi (ilmu hayati air), Hydro-ecology (ilmu air lingkungan), Hydraulic-Enginering (ilmu teknik rekayasa air) dlsb.
Mesin
pompa pasti tidak diciptakan orang Indonesia, tapi orang dari wilayah 4
musim. Teknologi pemanfaat air berkembang. Di Eropah umumnya di
mana-mana tersedia kran air langsung layak minum dan gratis. Air tidak
sekedar untuk mandi, cuci, masak dan pertanian melainkan menjadi sarana
transportasi dan wisata. Lainlah dengan di wilayah tropis
kita. Hampir tidak ada apa-apanya. Semuanya berlangsung alamiah saja.
Dimusim hujan, air di mana-mana. Kita mengeluh, menyalahkan hujan yang
mengganggu aktivitas dan kenyamanan. Pesawat terbang yang jatuh pun yang
dituduh jadi penyebab adalah cuaca buruk, hujan, air di bandara. Pada
musim kemarau, sama saja mengeluh, kurang air. Gagal panen? Yang
disalahkan juga iklim atau musim kemarau.
Budaya
seperti apa yang kita lakukan di musim hujan yang berlimpah air? Begitu
banyak air dicurahkan dari langit. Pada waktu itu juga air langsung
langsung kembali ke laut. Yang tinggal di dalam tanah ya hanya yang
dilakukan oleh alam. Tidak ada strategi dan teknik besar untuk membuat
air hujan bertahan di tanah sampai musim kemarau datang. Bahkan,
berbagai industri berbasis kayu malah mengganggu alam dengan membabat
hutan. Dan ketika giliran musim kemarau datang, alam lagi yang disalahkan, kenapa hujan tidak datang-datang.
Singkat kata, sejarah pergaulan
manusia tropis di Indonesia ratusan tahun lamanya tidak menunjukkan
adanya peradaban yang mengagumkan. Peradaban manusia tropis Indonesia
justru makin menyebabkan kemungkinan terjadinya kelangkaan air. Sejak
tahun 1985 terjadi pembabatan hutan sebesar 1,6 juta hektar per tahun.
Dan pada th 1997 meningkat menjadi 2,83 juta hektar pertahun. Pada hal
di hutan itulah alam melakukan penyimpanan air. Jadi ancaman serius,
yaitu kekurangan air akan dialami anak cucu kita di tahun-tahun yang
akan datang.
Negara/pemerintah
dan juga universitas tidak menunjukkan perannya yang siginifikan dalam
membangun kebudayaan air di negeri kita ini. Hasil studi berupa
teks-teks di perpustakaan mungkin saja banyak. Belum menjadi praktek
yang dahsyat di lapangan.
Akankah
hal ini dibiarkan berlanjut? Musim hujan mengeluh, musim kemarau
mengeluh? Air kita cintai sebatas kita perlu untuk mandi, cuci, minum
dan menanam, lebih dari itu kita benci sebagai sumber malapetaka dan
bencana.
Pendekatan Budaya
Strategi kebudayaan dengan air
1. Membangun kesadaran
Kita
perlu menyadari bahwa di wilayah tropis air tidak melimpah ruah
sepanjang tahun seperti di wilayah empat musim. Dengan kata lain
kehidupan kita sangat rawan dan selalu dalam ancaman kekurangan air.
Tidak semestinya kita berkebudayaan “nggampangke perkaa” dengan air. Tidak
hanya air yang di kemas dalam botol plastik yang berharga sehingga
lebih mahal dari bahan bakar bensin. Air yang di mana-mana ini, apapun
keadaannya sebenarnya sangat mahal. Menyia-nyiakan air sangatlah tidak
menaruh hormat pada alam. Mengasah pikiran agar mengerti dan mengasah
hati dan budi agar menghargai air adalah kewajiban orang di wilayah
tropis. Kita perlu bergaul dengan air dalam pemikiran yang cerdas.
2. Memelihara air hujan.
Perlu
strategi budaya di musim hujan agar air hujan sebanyak-banyaknya
tertinggal di dalam tanah untuk cadangan di musim kemarau. Diperlukan
visi dan misi dasar serta teknologi, dari yang alamiah sampai yang
perlu rekayasa. Uang rakyat yang ada di kas negara / pemerintah
semestinya dipergunakan juga untuk strategi budaya air ini dengan peran
bersama secara aktif dan kreatif akademisi, universitas namun tetap
berbasis kepentingan hidup masyarakat.
3. Pendidikan ilmu air sejak dini
Di
negara tropis pendidikan ilmu air ditanamkan sejak dini baik di lingkup
keluarga, masyarakat maupun institusi pendidikan formal. Hidrology semestinya lebih berkembang di wilayah triopis dari pada di wilayah 4 musim, minimimal tidak lebih rendah.
4. Kawasan Merapi
Wilayah
Merapi memiliki posisi strategis untuk memulai kebudayaan eksploratif,
kreatif dan integratif dengan air. Budaya menyelidiki, meneliti, ingin
tahu seluk beluk air; Budaya membuat mencipta aktivitas konservasi; Dan
Budaya memanggunakan air dengan mempertimbangkan berbagai nilai
kehidupan di masyarakat. Strategi budaya air itu berskala serius,
programatis dan berkelanjutan, justru karena di wilayah Merapi ada air
sepanjang tahun. Akademisi, universitas, NGO dan tidak boleh lalai,
negara / pemerintah sangat punya tugas mulia di Merapi ini. Jangan lagi hanya melirik Merapi ketika Merapi meletus, atau terkagum-kagum penuh nafsu melihat pasir Merapi.
5. Gerakan Masyarkat Cinta Air (GMCA)
GMCA sebagai embrio strategi kebudayaan eksploratif, kreatif dan integratif dengan air. Komunitas
ini lahir sebagai rasa terima kasih kepada Tuhan yang memberi air
jernih sepanjang tahun. Juga sebagai penghargaan kepada nenek moyang
yang sudah melakukan berbagai karya kreatif yang mendasari
kehidupan di Merapi, misalnya teknologi saluran manual di lereng-lereng
tebing Merapi, hingga membuat lorong air sedalam 30 m sepanjang 100 m di
dsn. Gemer. Sebagai penghargaan juga kepada para seniman
dan budayawan Merapi yang memandang air sebagai yang suci. Dan sebagai
rasa cinta kepada para petani yang dengan cara sederhana melakukan
penyimpanan air di lahan-lahan pertanian mereka.
GMCA
juga sebagai ajakan kepada negara/pemerintah dan akademisi/universitas
serta lembaga-lembaga donor agar bersama masyarakat memulai strategi
budaya eksploratif, kreatif , integratif dengan air.
Khusus
kepada universitas dan akademisi, kami mengusulkan agar laboratorium
Strategi Kebudayaan Kreatif dengan air dilakukan di Merapi. Dengan
demikian kebudayaan universitas dan akademisi berpijak pada basis yang
kuat yaitu masyarakat.
6. Penyusunan agenda bersama
Semoga
workshop GMCA hari ini, tidak berhenti pada level teks dan kata-kata
indah, melainkan membumi menjadi aktivitas budaya kreatif dengan air
yang dapat diukur tahap-tahap kerjanya, prosesnya dan manfaat dan
hasilnya.
Tidaklah ngayawara
bila hari ini juga kita bisa menyusun agenda bersama untuk berjalan
bersama menuju budaya eksploratif, kreatif dan integratif dengan air
hingga makin terjaminlah cita-cita kita : Makin Ada Air – Ada Pangan – Ada Hari depan.