Monang Naipospos
Ketika Siboru Deak Parujar memohon kepada Mulajadi Nabolon untuk
diberi restu dan ruang berekspresi pada sebuah dunia baru, terciptalah
planet bumi. Dalam mitologi Batak, beliaulah leluhur manusia pertama.
Cinta dan cemburu atas penolakan Boru Deak Parujar yang konon semakin
cantik setelah mendapat kekuatan baru dari Mulajadi Nabolon, Naga
Padohaniaji turun ke bumi menemui Boru Deak Parujar mengutarakan rasa
cinta. Penolakan Deak Parujar menimbulkan rasa kecewa Naga Padohaniaji,
amarahnya membuat dirinya semakin meraksasa sehingga mampu mengguncang
bumi hingga pecah berkeping.
Atas permohonan Naga Padohaniaji, Mulajadi
Nabolon memberi pengampunan atas perilakunya merusak bumi untuk
selanjutnya menjaga keutuhan bumi itu.
Menyusul kemudian Boru Saniangnaga (adik dari Boru Deak Parujar) memohon
kepada Mulajadi Nabolon untuk diberi restu untuk berbukim di bumi dan
bersemayam di air jernih penghias bumi itu
Raja Odapodap yang sudah mengikat pertunangan dengan Deak Parujar di
alam para Dewata menyadari permintaan Deak Parujar untuk menyendiri di
bumi merupakan upaya penolakan perjodohan. Ketika Deak Parujar minta
pertolongan dari Mulajadi Nabolon atas perilaku Naga Padohaniaji yang
menjadi ancaman setiap saat terhadap bumi yang diperjuangkannya,
Mulajadi Nabolon memberi dukungan dan merestui Raja Odapodap turun ke
bumi. Rasa saling membutuhkanpun tercipta, cinta yang terpotong pun
tersambung akhirnya Mulajadi Nabolon merestui pernikahan duniawi pertama
terhadap Raja Odapodap dengan Si Boru Deak Parujar.
Kelahiran anak pertama Si Boru Deak Parujar membuatnya merasa kecewa,
karena tidak sama dengan wujud mereka. Yang terlahir berbentuk bulat
(songon gumul) dan tidak memiliki wajah dan perangkat tubuh lainnya.
Atas petunjuk Mulajadi Nabolon, yang terlahir itu ditanamkan ke bumi
ciptaannya sehingga kemudian tumbuh menjadi pepohonan dan berbagai jenis
tumbuhan lainnya berkembang di permukaan tanah hingga dalam air.
Kelahiran kedua anaknya adalah kembar laki-laki dan perempuan yang
diberi nama Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia. Kepada mereka, Boru
Deak Parujar berpesan supaya memelihara seluruh apa yang ada di bumi.
Hubungan manusia dinyatakan terbatas dengan para dewa dewi yang tercipta
di alam dewata. Untuk mewujudkan hubungan dengan pencipta alam semesta
harus memenuhi tata cara khusus dengan persembahahan minimal air suci
(pangurason). Aturan hubungan manusia dengan pencipta ini disebut
“UGAMO”.
Penemuan Tanah Batak oleh Si raja Batak diawali dari sekitar Pusuk
Buhit. Kekagumannya kepada Danau bagaikan cermin raksasa merupakan
kejaiban Mulajadi Nabolon dan menyebutnya Tao Toba. Energi Danau Toba
dalam pandangan spiritual yang melekat padanya merupakan energi
kehidupan dan menyebutnya air tawar yang dalam bahasa batak disebut
“Taor”. Dukungan tanah sekitar berbukit, berbatu dan pepohonan serta
rumput rindang membuktikan kesuburan. Siraja Batak menetapkan pilihan
Danau Toba dan tanah sekitarnya menjadi tempat keturunannya kelak
mendapatkan hidup makmur dan rukun dalam adat istiadat dan tatanan
kehidupan yang tertuang dalam Pustaha Agong dan Pustaha Tumbaga Holing
yang dibawanya.
Inilah gambaran awal mulanya Orang Batak di tanah Batak yang
mengelilingi danau Toba sumber energi surgawi “Taor”. Segala sumber air
yang bermuara ke Tao Toba adalah sumber air dari homban secara umum yang
secara khusus disebut “jullak” (mata air)
Martutuaek
Dalam keyakinan orang Batak, air adalah awal kehidupan jasmani. Raja
Ihat Manisia dan Boru Ihat Manisia adalah perpaduan air tubuh manusia
surgawi putra putri para Dewata.
Tubuh yang menjadi manusia lahir wajib diperkenalkan dengan jenis asal
mereka “air”. Martutuaek artinya menuju ke sumber air. Memperkenalkan
manusia lahir itu dengan air yang merupakan keutamaan sumber hidup
sebelum mengenali semua apa yang ada di bumi. Untuk pertama sekali dia
mengambil air dari sumbernya untuk dibuat persembahan kepada Mulajadi
Nabolon.
Seperti halnya pesah yang diterima Raja Ihat Manisia dan Boru Ihat
Manisia, manusia wajib memelihara seluruh isi bumi. Diperkenalkan
selanjutnya bahwa air adalah saudara tubuh kenyal dari awal terbentuk
hingga pemeliharaannya dalam sirkulasi darah dalam tubuhnya. Untuk
pribadi manusia, air berperan untuk “Parsuksion mula ni haiason, haiason
mula ni parsolamon, parsolamon mula ni hamalimon”, awal pembersihan
menuju kesucian, kesucian menuju kesempurnaan. Untuk hubungan manusia
dengan Mulajadi Nabolon air “Mual Natio dipadomu dohot unte mungkur
marangkuphon sanggul banebane jumadi pangurason parsungsion” berperan
sebagai persembahan kepada Mulajadi Nabolon atau pelengkap utama dari
seluruh jenis persembahan itu.
Parhombanan
P
ekembangan manusia membutuhkan penataan kehidupan yang teratur.
Penataan kehidupan itu diaturkan tata lingkungan rumah tinggal atau
perkampungan, sumber kehidupan, kesehatan dan hubungan sosial.
Sebaikbaiknya pemilihan sebuat tempat perkampungan, indikator utama
adalah adanya sumber air, sub indikatornya nadalah faktor kemudahan ke
akses sumber air itu. Sumber air pilihan adalah sungai, pancuran dan
mata air. Konon ada menyatakan bahwa yang sebelumnya tidak ditemui mata
air, tapi atas permintaan mereka kepada Mulajadi Nabolon mereka diberi
mata air yang melimpah.
Sumber air ini dipelihara dan dirawat karena diakui sebagai anugerah
utama dalam kehidupan mereka. Manifestasi rasa syukur mereka atas
anugerah itu, mereka melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon di
lokasi mata air itu. Mereka membuat batasan-batasan perlakuan sebagai
penghargaan kepada sumber air itu.
Sumber air itu kemudian dialirkan ke sawah-sawah, sebagai sumber air minum utama dan kebutuhan ritual “pangurason”.
Sekali dalam satu tahun dilakukan acara ritual pada mata air itu yang
disebut “mangase homban” yang tujuannya merawat dengan cara
membersihkan lokasi sumber mata air, perawatan tanaman dan pohon yang
ada disekitarnya, perawatan aliran air ke hilir hingga perbaikan
pematang sawah. Ini merupakan pertanda awal turun sawah setelah selama
satu tahun digunakan untuk sumber kehidupan dan memulai kegiatan baru
untuk kehidupan baru ke depan.
Mangase homban berkaitan dengan acara ritual Bius ”Asean Taon” dengan
melakukan persembahan kepada Mulajadi Nabolon dengan kurban “horbo
santi”. Mangase homban dilakukan oleh warga kampung, setelah dilakukan
Asean Taon oleh Bius dengan melibatkan seluruh kampung yang ada dalam
Bius itu.
Pada setiap pendirian rumah baru dalam kampung, dilakukan upacara
“mompo” diartikan memasuki untuk pertama sekali. Sebelum penghuni rumah
memasuki rumah secara resmi, sehari sebelumnya harus memenuhi
persyaratan awal dengan memasukkan air ke dalam rumah itu dalam
“panguhatan”.
Panguhatan adalah sumber air dalam rumah berbentuk periuk tanah, dan saat ini digantikan dengan ember
Bersamaan dengan itu dimasukkan “sipusipu” yaitu bara api kcil yang
tetap hidup hingga keesokan harinya hingga penghuni masuk secara resmi
dan melakukan kegiatan masak memasak di rumah itu.
Artinya, sebelum mereka masuk diantarkan oleh para kerabat dengan tata
cara adat istiadat, mereka sudah menemukan sumber hidup dalam rumah itu
yaitu “air” dan sumber pengolahan hidup “energi” yaitu bara api. Air itu
diambil dari parhombanan dan langsung masuk kerumah dan tidak
dianjurkan lebih dulu mampir di rumah lain. Bara api biasanya diambil
dari rumah induk bila masih berdekatan, atau diciptakan di rumah baru
bila tidak memungkinkan dari rumah induk. Rumah induk ini dimaksudkan
seperti rumah orangtua dimana sebelumnya dia tinggal atau rumah
sebelumnya dia tinggal.
Tambahan lain bersamaan dengan air, adalah beras, alat pekerjaan pengolahan kebutuhan seharihari, dan tikar.
Pengelolaan Air, Tanah dan Hutan
Dalam kebudayaan Batak sudah terbentuk pola hubungan antar manusia
dengan Pencipta, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan
lingkungannya. Sehubungan dengan pesan Siboru Deak Parujar Kepada
Keturunannya untuk “memelihara” bumi dengan segala isinya, terdapat
pengertian untuk “memanfaatkan” bumi dengan segala isinya dengan arif
dan bijaksana. Penganugerahan ini sekaligus pemaknaan pemberian warisan
sebagai “UGASAN” bagi Si raja Ihat Manisia dan keturunannya. Manusia dan
keturunannya diperkenalkan bahwa siapapun yang mencoba merusak bumi dan
segala isinya akan dihukum Mulajadi Nabolon. Nagapadohaniaji yang
semula merusak akhirnya melalui pengampunan berjanji akan menjaga.
Itu pula yang didasari dengan hadirnya Boru Saniangnaga untuk
memelihara kejernihan air yang dulunya menggoda hatinya dari dunia para
dewata.
Orang Batak selalu menghormati kedua penguasa itu setiap kali hendak memanfaatkan potensi air dan bumi untuk kegiatan kehidupan.
Pemahaman “UGASAN” bagi manusia atas segala isi bumi masih dimaknai
dengan penghormatan kepada pelestariaanya sekaitan dengan para dewa pada
awalnya telah berjanji untuk melakukan pelestarian bimi dan air
“ciptaan” yang dimohonkan Si Boru Deakparujar itu.
Peran Air
Setiap pemanfaatan air untuk kegiatan khusus misalnya pengobatan
harus melewati pemahaman khusus, yaitu 1. Penghormatan kepada dewi Boru
Saniangnaga yang menjaga kelestarian air yang akan dijadikan
“PANGURASON” dan 2. Pemahaman siklus kehidupan dengan peran air yang
disebut “HUMUASAL”
Hal kedua diatas yang jarang dibicarakan karena pada umumnya dilakukan
sebagai ritual kaji pada ahli pengobatan untuk mendekatkan
spritualitasnya terhadap lingkungan dan kehidupan. Setiap penyakit
diyakini ada penyebabnya dan selalu ada obatnya. Kerusakan pengelolaan
tubuh merupakan penyebab penyakit dan perusakan lingkungan menjadi
sumber penyakit. Keduanya berkaitan dan tak dapat diabaikan dalam
kehidupan nyata.
Humuasal ada beberapa versi, disini saya uraikan dua versi yang berdekatan.
Aek jumadi ombun, ombun jumadi udan, udan jumadi hau. Air
menjadi embun, embun menjadi air, air menjadi kayu. Pengertian luasnya
adalah air menguap (evaporasi) menjadi embun, embun menjadi hujan, hujan
menjadi air mengalir diatas permukaan tanah, pelembaban tanah dan
siraman hujan memecah kecambah sehingga memekarkan tumbuhan. Ada hidup
(harmonisasi).
Timus jumadi ombun, ombun jumadi udan, udan jumadi hau, hau jumadi api, api jumadi ombun.
Asap menjadi embun, embun menjadi hujan (air), air menjadi kayu, kayu
menjadi api, api menjadi embun. Pengertian kedua ini menyatakan; asap
dan uap menjadi embun, embun menjadi air, air memecah kecambah dan
menghidupkan tanaman, tanaman menjadi api (panas), panas menjadikan
penguapan sehingga menjadi embun.
Dari kedua pengertian HUMUASAL diatas dapat dimengerti tingkat kajian
leluhur akan pemahaman asal usul sebab dan akibat yang dirangkai dalam
pemahaman siklus hidrologi.
Menurut ilmu pengobatan Batak, keseimbangan adalah kelestarian, dan
kelestarian adalah keabadian. Setiap terjadi kerusakan dalam
keseimbangan itu wajib dilakukan perbaikan. Berdasarkan itu pula setiap
orang mencari solusi kesehatannya selalu diarahkan apa yang tertinggal
dan terabaikan dalam kehidupannya.
Dalam setiap praktek pengobatan, air selalu pemeran utama yang dirangkai
dengan bahan pendukung lainnya dari tanaman yang konon dimengerti
terjadi dan hidup karena air.
Rangkaian kalimat itu dipadukan dengan doa harapan pemulilan organ
dan system yang rusak dalam tubuh, dengan kata harapan agar ramuan yang
tersedia dapat membantu pemulihan dan dukungan Tuhan Yang maha Esa.
Aarwah para leluhur juga diharapkan berperan untuk melawan hal buruk
atas kekuatan roh jahat sehingga apa yang dilakukan para datu untuk
permulihan dapat berjalan dengan baik untuk tujuan pemyembuhan. Paduan
kalimat ini yang lajim disebut “TABAS”. Tabas ini memberi kesan sugestif
bagi penderita.
Peran Tanah.
Tanah diakui sebagai “tano ojahan, tano ondolan, ojahan ni saluhut
nasa na adong”. Tanah adalah media proses seluruh kehidupan manusia,
tanaman, hewan dan air. Ombun (uap) adalah peralihan sementara yang pada
akhirnya bersentuhan dengan tanah karena berasal dari tanah. Bila air
dimaknai sebagai aliran hidup asal-usul, sebab-akibat, maka tanah
dimaknai sebagai media proses kesuburan itu terjadi. Lambang kesuburan
tanah disebut “Boraspati ni tano”. Berperan sebagai pemenuhan ambang
batas kemampuan manusia untuk merawat tanamannya tumbuh subur. Manusia
hanya mampu memberi kebutuhan dasar tanamannya pada awal pertumbuhan
dengan hara makro seadanya, tapi pemenuhan hara makro dan mikro akan
diberikan oleh tanah itu sendiri dengan “boraspati ni tano”. Sehingga
boraspati itu adalah sebuah icon spritualitas Batak akan adanya unsur
tersembunyi dari tanah itu untuk kebutuhan hidup manusia yaitu
kesuburan. Yang tidak menghargai boraspati ni tano, cenderung akan
melakukan perusakan atas kesuburan tanah.
Lambang “Boraspati” juga dapat ditemukan pada hiasan
rumak Batak Toba. Memaknai adanya kesuburan tumbuh pada penghuni rumah
yang dominannya untuk perkembangan keturunan bagi manusia, namun tidak
lepas dari pengertian akan seburan tanah. Manusia yang tidak mendapat
keturunan disebut “pupur”. Sedangkan tanah yang tidak subur disebut
“tungil”
Dalam setiap pengolahan tanah, orang Batak selalu memberitahukan
kepada Nagapadohaniaji akan niatnya dengan kata : Saya tidak hendak
merusak tanah yang engkau junjung Nagapadohaniaji, tapi saya hendak
menggunakannya untuk kebutuhan kehidupanku seharihari (atau untuk
kebutuhan lainnya seperti pekuburan dan pendirian perumahan)”. Setelah
kata itu diucapkan lalu dilakukan pencangkolan atau pengorekan pertama.
Untuk kegiatan pertanian biasanya dibiarkan dulu beberapa hari kemudian
dilakukan pengolahan tanah yang sebenarnya.
Kegiatan seperti ini menunjukkan bahwa tidak bisa dilakukan sikap yang
menunjukkan keserakahan terhadap tanah walau dalam arti itu adalah
“UGASAN” bagi manusia. Pada pengelolaan pertama itu juga selalu
dilakukan dengan “itak gurgur” tepung beras yang dimaknai agar apapun
yang dilakukan untuk tujuan kehidupan itu mendapat restu Mulajadi
Nabolon, dipahami oleh Nagapadohaniaji dan respon dari Boraspati ni
tano. Itak gurgur melambangkan persembahan dan pemaknaan semua hasil
pekerjaan akan berkembang baik (gurgur).
Peran Hutan
Hutan (harangan) adalah kumpulan tumbuhan pohon (hau) semak dan
rumput (ramba) berbagai ragam. Tumbuhan berkembang sesuai dengan sifat
alamnya tanpa pengaruh manusia. Kayu juga ada disekitar perkampungan non
hutan yang dikembangkan oleh manusia sendiri. Kayu dalam hutan atau
tanaman rakyat selalu mendapat perlakukan khusus untuk pemenuhan
kebutuhan yang penuh arti dalam hidup manusia.
Tanaman dalam mitologi adalah saudara tua manusia sebelum Siraja Ihat
manisia dilahirkan. Seperti halnya manusia, tanaman/kayu juga memiliki
kebutuhan siklus dengan peran air.
Pemenuhan perumahan, kayu berperan penting. Pohon hidup memiliki
kebutuhan sama dengan manusia, akan tetapi manusia sudah diwariskan
segala sesuatu yang ada di bumi dengan arif dan bijaksana. Penghormatan
kepada sesama zat yang hidup untuk tujuan penguasaan menjadi dasar
bertindak dalam pemanfaatan tumbuhan/kayu.
Hal lain juga mendapat perhatian orang Batak, seperti penguasaan
hutan oleh mahluk gaib. Mereka dapat saja lebih awal sudah memilih hutan
tertentu atau pohon tertentu untuk tempat bersemayam. Azas saling
menghormati bukan didasari penyembahan berhala, akan tetapi bagaimana
memiliki benda yang lebih dulu sudah dikuasai pihak lain. Tata cara ini
masih tetap dilakukan untuk menghindari hal gaib menuntut hingga tempat
(rumah) manusia memanfaatkan kayu tersebut.
Sebelum pohon yang diinginkan ditebang ada beberapa hal yang dilakukan yang memiliki pengertian berbeda ;
“Huhuasi” Melakukan komunikasi bilamana ada yang tidak diduga telah
menguasai pohon tersebut. Lalu mereka menancapkan “takke” sejenis kapak
ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih pohon tersebut.
Bila keesokan harinya “takke” masih lengket maka mereka dapat memiliki
pohon tersebut. Hal gaib telah diabaikan dan tidak akan ada lagi
gangguan mengikuti ke “huta” kampung.
“Martondi Hau” merupakan sambutan kepada pohon tersebut diajak ke
kampung. Sebagai saudara tua manusia yang akan dimanfaatkan untuk
“parhau” bahan bangunan rumah yang akan didirikan, agar senantiasa
mereka bersama-sama rukun antara rumah dan penghuni, kelak tidak dapat
diganggu kekuatan lain dari luar rumah yang dapat mencelakakan
penghuninya. Sebagai sambutan, “ulos atau tikar pandan” dililitkan ke
batang pohon, berselang beberapa jam baru dilakukan penebangan.
Dalam pertanian ada juga dikenal kegiatan “Martondi Eme”.
Pada saat padi bunting tua, para ibu membawa “itak gurgur dan sanggar”
ke sawah dalam bakul. Segenggam itak diletakkan dipematang sawah dan
sanggar ditancapkan. Diharapkan padi berkembang dengan baik, jauh dari
hama penyakit. Sisa itak gurgur dibagikan kepada semua orang yang lewat,
gembala kerbau yang ada disekitar persawahan. Mereka yang menerima
sudah paham bahwa itu pernyataan janji tak terucap akan tanggungjawab
bersama akan semua isi sawah dari gangguan burung dan ternak. Ada
tanggungjawab moral bagi mereka khusnys yang menerima itak tadi.
“Pinta-pinta”. Dalam sikap hidup Batak, setiap memanfaatkan sesuatu
selalu mengharapkan ada pengganti kemudian. Prinsip itu ditanamkan
dengan “Martumbur partabaan, malomak pansalongan”. Prinsip ini tidak
membatasi satu mengganti satu, akan tetapi berkembang biak. Barang siapa
yang melakukan pemotongan pohon dan tidak menjamin ada tunas atau
tanaman pengganti, berarti dia telah memutus satu siklus hidup dan ada
“sapata” kerugian di lain waktu.
“Ruhut” Etika melakukan penebangan harus dijaga dengan ketat. Para
pekerja yang diawasi pengetua lebih dulu memperhatikan arah mana pohon
roboh. Tujuannya adalah untuk meminimalkan pohon kecil menjadi korban.
“Marobo hau bolon, malisat hau anak” Rubuh kayu besar, kemungkinan besar
akan menimpa kayu kecil. Harus hatihati menentukan arah mengurangi
resiko, pohon yang ditebang tidak patah, kayu kecil tidak banyak korban.
Dalam kegiatan pengambilan kayu untuk tambatan (borotan) ternak
kerbau atau dalam berbagai kegiatan acara ritual dan adat Batak, juga
menjalani proses penting. Cabang kayu yang dipotong tadi harus ditanam
dekat dengan batang bekas tebangan dan berjanji setelah batang kayu
selesai digunakan untuk acara, akan ditanam kembali ditempat sekitar
perkampungan. Biasanya kayu bekas borotan ditanam kembali dekat
perkampungan untuk melihat petunjunk bila rindang menandakan keturunan
akan berkembang. Biasanya tanaman bekas borotan ini dirawat dengan baik
agar membawa kesan yang lebih baik.
Pada setiap pesta adat atau pesta bius yang memukul
gendang {gondang sabangunan) biasanya akan memotong kerbau. Pada upacara
Bius, kerbau itu disebut kurban “horbo santi”. Tapi pada pesta adat
perkawinan disebut “parjuhut”, pada acara kematian disebut “boan” Pada
acara kematian yang tidak menggunakan gondang sabangunan, kerbau yang
dipotong disebut “ola”. Namun saat ini cenderung samar penyebutannya.
Hukum Adat
Seorang pemimpin kharismatik (marsahala), harus mampu membuat aturan
hukum dalam komunitasnya secara demokratis dan bermanfaat untuk semua
lapisan. Pemimpin mengajak rakyatnya, “beta hita, tabahen patik nauli
patik nadenggan natau hangoluan ni natorop sude”, mari kita buat
peraturan yang baik untuk mengayomi kehidupan orang banyak, maka
masyarakatpun sepakat untuk melakukan musyawarah.
Isi parpatihan tidak selalu sama pada setiap desa, horja atau bius, akan tetapi tujuan dapat dirasakan dan mafaatnya sama.
Inti dari parpatihan itu adalah :
Untuk tatanan sosial kemasayarakatan / paradaton, seperti pangoli anak magodang, pamuli boru,perkawinan dan tata parjambaran.
Untuk tatanan sosial ekonomi, seperti mangase, perbaikan saluran air
dengan gotong royong, kesepakatan benih dan jadwal tanam, pemanfaatan
lahan danau dan hutan.
Untuk tatanan hukum (pidana dan perdata), dang jadi manangko dang jadi
panangkoan, tidak boleh mencuri dan tidak boleh kecurian, hukum tunda
(ternak merusak tanaman), penganiayaan dan pembunuhan.
Untuk menegakkan hukum dan peraturan itu dibentuklah satu kelembagaan
yang melibatkan pengetua kampung yang disebut sebagai Raja Panimbang,
yang befungsi sebagai penggerak pembangunan masyarakat dan pada keadaan
lain bila ada temuan penyimpangan. Mereka bertindak sebagai juri/hakim
untuk mengajukan pelaksanaan hukuman yang menjadi pertimbangan kepada
Raja (pandapotan ni uhum).
Raja Panimbang di berbagai wilayah dapat saja berbeda penyebutan,
seperti Raja Naopat, Raja Naualu dan lain sebagainya yang fungsi sama
sebagai juri dalam arti musyawarah, dalam berbagai tingkatan, huta,
horja atau bius.
Lain halnya pada bius, keputusan terakhir ada pertimbangan Raja raja
bius yang terdiri dari 4 unsur, Raja Naopat, atau Raja Maropat, yang
sering disebut Suhu ni Ampang Naopat Harajaon Bius. Patik dohot Uhum
Habatahon inilah yang disebut “UGARI”.
Dalam tataguna air, yang melakukan gotongroyong pembentukan tali air
termasuk kelompok pengguna air atau kelompok pemilik yang membentuk
peraturan. Peraturan yang dibentuk akan berlaku bagi siapa saja pengguna
air non pemilik kecuali perawatan. Kelompok pemilik inilah yang
melakukan wajib “mangase bondar atau homban” sekali dalam setahun.
Sumber air irigasi “bondar” biasanya berasal dari mata
air besar (embung) yang lajim disebut “jullak”. Jullak ini pada sebagian
kelompok pengguna air menyebut homban walau tidak seperti homban yang
sebenarnya. Homban desa biasanya juga mengalirkan air irigasi pendukung
karena cenderung kecil. Sebagian ada yang bersumber dari sungai besar
tapi sumber ini tidak pernah disebut jullak atau homban.
Pemimpin kelompok ini disebut Raja Bondar, yang memiliki perangkat
sesuai kesepakatan bersama. Mereka bertugas melakukan perawatan rutin
dan menagih iuran perawatan dari anggota kelompok atau dan non anggota.
Iuran ini disebut “pala” dan di sebagian tempat disebut “angkut-angkut”.
Dalam arti sebenarya segala bentuk retribusi penggunaan air maupun
hutan disebut pala, alat ukur takaran yang disepakati disebut
angkut-angkut.
Di dusun Lumban Riaria Kecamatan Laguboti ditemukan
saluran air milik masyarakat dusun yang melintasi dua dusun, yaitu
Hutatinggi dan Lumban Dolok. Sebelumnya dusun-dusun ini adalah Desa
terpisah sebelum ada penggabungan desa.
Aliran irigasi 98 % melintasi kawasan Lumban Dolok dan sekitar 2 %
melintasi Hutatinggi. Ada kesepakatan awal bahwa setiap sawah masyarakat
Desa Lumban Dolok sepanjang saluran dibebaskan dari pala. Ada sebagian
kecil yang berhati dermawan memberikan pala sehingga menjadi kewajiban
karena melihat susah payah kelompok merawat saluran yang setiap tahun
hingga kini sering longsor.
Lain halnya dalam pengelolaan hutan. Setiap hendak melakukan
eksploitasi kecil atau besar terhadap hutan harus ada izin resmi dari
Raja Huta. Pemanfaat hutan dapat dari masyarakat huta dan luar huta yang
tentu saja berbeda dalam pembebanan pala, namun aturan pelestarian
hutan tetap berlaku bagi siapa saja sesuai peraturan huta. Pengawas
hutan yang dibentuk biasanya langsung melakukan pemeriksaan ke hutan
membuktikan ada tidaknya pelanggaran sesuai ijin yang diberikan. Bila
terjadi pelanggaran langsung dilakukan tindakan sesuai peraturan. Bila
yang melakukan adalah penduduk huta lainnya maka dilakukan peringatan
memalui Raja Huta setempat. Hukum Raja Huta sangat ketat dijaga dengan
prinsip “Ganjang pe banjar ganjang, mandapot di Raja Huta. Bolon pe
rumah gorga, mandapot do di jabu bona”. Segala sesuatu yang menjadi
keputusan akhir ada pada Raja Huta.
Raja Huta biasanya adalah orang pertama membentuk kampung atau
keturunannya. Awal pendirian kampung harus lebih dulu menanam “hariara”
(kayu ara) sebagai tanda kepeminpinan, Bambu sebagai pertanda harapan
agar banyak penghuni dan rukun serta mempunyai hukum perlindungan
sesama. Bangunbangun, sebagai lambang adanya kehidupan yang langgeng
(pansalongan). Dalam perumpamaan Batak sering disebut bangunbangun
pansalongan, artinya ada sumber yang dapat dipetik sestiap saat.
Bangunbangun juga sebagai tanaman obat dan selalu diberikan bagi ibu
melahirkan. Raja Huta melambangkan tatanan kerukunan dan sumber
kehidupan melalui tanaman yang ditanamnya sendiri dan wajib dipelihara
dan dilestarikan wagra.
Pelembagaan Hukum/Peraturan.
Huta atau bius yang berhasil membentuk tatanan hukum pada umumnya
memiliki “parpati-patian”. “Parpatian” merupakan pengesahan
undang-undang yang disepakati bersama masyarakat.
Beberapa kali rapat kecil dilakukan, kemudian utusan pimpinan rapat
mengadakan musyawarah besar dihadapan pengetua dan pimpinan masyarakat
(raja) untuk merumuskan parpatihan (peraturan/hukum).
Pada saat pengesahan, masyarakat diundang untuk makan lombu
sitio-tio. Semua yang ikut makan lembu dalam pengesahan ini disebut
dinaungi hukum (dibagasan uhum). Kepala lembu dihadapkan kepada Raja
Panimbang sebagai penganugerahan tugas mengemban penegakan hukum secara
jujur dan adil dengan motto siadapari gogo sisolisoli uhum. Tidak ada
yang kebal dalam hukum walau turunan raja sekalipun. Sarana prasarana
desa wajib dipelihara bersama melalui siadapari. Riperipe dang jadi
pangumpolan, pangumpolan dang jadi riperipe, ugasan torop dangjadi
lomolomo. Barang bersama/kongsi tidak boleh dicaplok menjadi milik
pribadi, milik pribadi tidak boleh dicaplok menjadi milik bersama, harta
public tidak dapat digunakan sesuka hati.
Penegakan hukum dilakukan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan menjadi perpati-patian.
Parpatihan diartikan sebagai undang-undang
Parpatian diartikan sebagai pengesahan undang-undang
Parpatipatian merupakan suatu pertanda seperti lokasi,
pohon dan batu peringatan dimana pada tempat itu pernah dilakukan
perjanjian mentaaati peraturan dan hukum yang di lembagakan bersama
Sebagai contoh ada yang menetapkan bila terjadi pembuktian seseorang
mencuri harta orang lain dalam wilayah itu maka dikenakan denda setengah
nilai harga lembu yang dikorbankan pada saat penetapan hukum
(parpatian). Bila yang melakukan adalah warga diluar wilayah atau dalam
wilayah tetapi tidak ikut mengesahkan hukum makan lembu, maka dikenakan
hukuman denda penuh senilai harga lembu yang dikorbankan. Bila dari
keluarga / anak Raja yang melakukan pencurian, maka dikenakan senilai
dua ekor lembu korban, satu untuk denda kesalahan, satu lagi untuk
penebusan kesalahan Raja kepada rakyat dengan makan bersama.
Bila dari keluarga / anak Raja Panimbang yang melakukan pencurian, maka
dikenakan senilai satu setengah ekor lembu korban, satu untuk denda
kesalahan, setengah lagi untuk penebusan kesalahan Raja kepada rakyat
dengan memberikan sumpitan (bungkusan berisi daging) kepada rakyat.
Bila seseorang tidak mentaati hukum atau tidak menyepakati maka disebut dianya “diduru ni uhum”, dan tercela.
Dari ceritera rakyat disebut, ada sebuah desa di daerah di Tanah
Batak melakukan pengawasan hutan dengan peraturan huta yang ketat.
Peraturan huta telah dikuatkan para Raja Bus. Setelah masuknya
pemerintahan Belanda mulai dilakukan pemecahan masyarakat dengan tidak
menghargai hukum masyarakat sebagai sosialisasi hukum baru yang
diterbitkan pemerintah Belanda. Terjadi pengambilan kayu dari penduduk
huta ke kawasan hutan huta lainnya hingga tertangkap oleh pengawas hutan
huta bersangkutan. Sesuai dengan peraturan huta Raja memutuskan
hukuman. Terjadilah pergolakan antar huta dan pihak pencuri disupport
oleh pemerintah Belanda.
Dengan cara itu peran hukum adat terhadap pengawasan
hutan semakin dilemahkan hingga muncul para Raja Ihutan yang menerapkan
hukum kolonial. Pemerintah Indonesia masih tetap memberlakukan hukum
kolonial sampai saat ini hingga peran masyarakat adat untuk kepemilikan
hutan sudah hilang, konsekwensinya pengawasn hutan menjadi hilang.
Mereka diklaim menjadi pencuri dikawasan hukum hutan huta mereka
sendiri.
Pelembagaan Ekonomi.
Seorang Raja bijak akan melakukan kelembangaan ini yang fungsi
utamanya untuk menyokong kehidupan pada masa peceklik dan menopang
kehidupan keluarga baru (anak manjae). Sipaha tolu dikenal sebagai saat
peceklik menjelang panen raya Sipaha opat. Pada saat panen raya
dilakukan pengumpulan iuran penggunaan air dan iuran penggunaan hutan
sebagai biaya pemeliharaan. Kas yang semakin besar dapat dimanfaatkan
dalam arti luas diluar pemeliharaan sarana irigasi untuk kepentingan
masyarakat. Ada pula parpatihan yang menetapkan setiap warga mengumpul 2
ampang (setara 20 liter) padi dari masyarakat mampu, tapi masyarakat
miskin dibebaskan dari kewajiban ini. Tetapi Raja panimbang, Suhu ni
Ampang Naopat dan Raja Pargomgom, minimal 2 kali lipat dari kewajiban
masyarakat.
Kewajiban ini sudah harus terkumpul sebelum dilakukan upacara bius
Asean Taon (mangalahat horbo santi) persembahan kepada Mulajadi Nabolon,
sebagai ucapan syukur akan berkat yang telah diterima dan mohon agar
padi yang dikumpulkan menjadi penyokong ekonomi untuk masyarakat miskin,
yatim piatu, anak manjae dan kesejahteraan untuk masyarakat umum.
Padi yang dikumpulkan itu sebagian menyebut Eme Torop, yang sifatnya
bukan simpanan yang suatu saat dapat diterima kembali. Ada yang
menghukumkan Eme Torop itu “sidapothonon ni na ro, sitadingkonon ni na
lao”.
Sikap ini kemungkinan salah satu penyebab pada jaman dulu Batak tidak
pernah membiasakan diri jadi pengemis, dan menelantarkan anak cacat dan
miskin, akan tapi berusaha untuk mandiri dengan dukungan keluarga atau
dengan dukungan Eme Torop apabila keluarga dekat tidak mampu, dengan
syarat harus rajin dan berhasil supaya dapat manimbuli (mencicil dan
mengembangkan kembali) Eme Torop.
Untuk mengembangkan kelembagaan sosial ini, ada wilayah yang mengaturkan
untuk memberikan todoan (bagian) kepada lembaga ekonomi Eme Torop dari
Penjualan Ternak dan Sinamot Boru Muli dan Upa Raja.
Pala, adalah iuran wajip yang telah ditetapkan dalam peraturan
Todoan, adalah kewajiban memberikan kepada kas yang jumlahnya sukarela.
Hasil dari hutan , irigasi yang disebut pala dan sumbangan sukarela dari
todoan iuran wajib hasil panen padi masuk dalam kas besar dalam SOPO
yang disebut Ugasan Torop. Sehingga pemanfaatannya semakin luas seperti,
cadangan peceklik, perawatan sarana huta dan pertanian, modal anak
manjae (keluarga baru), sumbangan korban bencana. Biasanya Huta
mengambil dari kas ini untuk mendukung Pesta Bius Asean Taon.
Penutup
Pustaha Agong yang dibawa Siraja Batak diberitakan berisikan ilmu tuntunan ilmu batin, dan Pustaha Tumbaga Holing merupakan tuntunan ilmu hukum. Implementasi dari kedua sumber ilmu ini disebut nilai Habatahon.
Hukum dalam arti peraturan dan tindakan keadilan dalam masyarakat dulu
sangat dihargai dan mempunyai kedaulatan penuh dari wilayah
disekitarnya. Pengakuan itu dinyatakan dengan pernyataan, “disi tano
nidege, disi langit nijujung”, “sidapot solup do na ro”. Kemandirian
hukum ini sampai saat ini masih melekat dalam tatanan pelaksanaan adat
Batak. Dalam arti persamaan hukum adat tetap terlihat dalam kedudukan
Dalihan Natolu dan Suhi Ni Ampang Naopat, walaupun dalam tatalaksana
pembentukan parjambarann diberbagai wilayah banyak berbeda.
Hanya yang tidak memahami kekuatan otonomi hukum adat yang selalu
mempertahankan hukum wilayahnya pada wilayah lain sehingga sering
terjadi percekcokan akibat tidak saling menghargai.
Sungkun mula hata sise mula uhum, adalah tata krama Batak untuk
mengetahui siapa teman bicara dan apa tatanan hukum yang dianutnya,
sehingga seseorang yang beradaptasi dengan wilayah dan pribadi orang
lain dapat belajar menghargai tatanan yang dianut /dipegangnya, untuk
dapat dipedomani. Artinya semua tatanan kemasyarakatan dalam lingkup
sesuas-luasnya yang telah diaturkan dalam wilayah, akan berlaku bagi
orang lain yang datang di wilayah itu baik dalam pelaksanaan hubungan
kekerabatan (adat istiadat) maupun peraturan lain bagi yang datang
berdomosili di wilayah hukum itu.
Warisan Siraja Batak untuk keturunannya telah mampu diintervensi
nilai baru sehingga cenderung sudah hapus. Kemampuan turunan Siraja
Batak untuk mengembalikan nilai kepribadian dan hak pewarisan nilai
Habatahon sudah menjadi harapan yang tidak dapat diramalkan mempunyai
ending yang baik dan benar.
Eksploitasi potensi Tanah Batak dan Danau Toba tidak lagi menganut Sungkun mula hata sise mula uhum.
Ini mengakibatkan masyarakat Batak tidak mendapatkan manfaat seperti
harapan Siraja Batak untuk turunannya itu. Habang bisuk songgop oto
mengartikan bahwa kebijakan telah hilang tinggallah kebodohan sehingga
orang Batak kehilangan warisan Agung Siraja Batak dan disebut “luangan”
Saat ini, konsep ekonomi sosial itu sudah berubah dengan peralihan ke
bentuk kongsi dan semakin lama berubah wujud menjadi koperasi. Bentuk
perwilayahan dan keanggotaan juga akhirnya berpecah dengan hadirnya
kelompok-kelompok kepentingan seperti gereja, mesjid dan keluarga atau
marga yang mengikuti kebebasan sesuai dengan kesempatan yang diberikan
pemerintah setelah kemerdekaan.
Konsep perekonomian Desa dengan binaan pemerintah
Koperasi, UEDSP, IDT dan lain sebagainya konon tidak terlihat dampak
nyata dimasyarakat, bahkan cenderung menjadi masalah.
Raja bondar juga diusahakan merobah nama dengan alasan pembinaan oleh
pemerintah menjadi P3A. Kepedulian masyarakat akan pelestarian sumber
air sudah semakin sirna karena melulu menggantungkan harapan kepada
pemerintah dan bantuan dana pemeliharaan.
Ketergantungan masyarakat yang kuat pada lingkungan semula dapat
mengembangkan pengaturan dalam bentuk etika lingkungan, norma, adat
istiadat, mitologi, nilai-nilai kearifan, sistem kepercayaan, penataan
kedudukan dan peran sehingga mempertahankan keutuhan dan menjaga
kelestarian
Rasa tidak memiliki terhadap hutan membuat para pemuka masyarakat tidak
memiliki arti. Yang dulunya dimiliki menjadi dicuri, menjadi awal
pengrusakan.
Perubahan Kebudayaan dan Masyarakat Adat (Desa) semakin meningkat
mengikuti perkembangan kebijakan Negara dan perkembangan peradaban
ekonomi.
Sebelumnya gambaran masyarakat Adat mencirikan; Jumlah penduduk sedikit
dan homogen, Memiliki kebutuhan subsisten, Mengacu kepada kearifan
lingkungan, Pemanfaatan SDA berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar,
Nilai-nilai kearifan (agraris), Peralatan dan teknologi sederhana,
Peran tokoh adat sangat kuat, Kepatuhan kepada adat istiadat, Mitologi
dan sistem kepercayaan sangat kuat dan Organisasi kerja yang sederhana,
menjadi ;
Pertambahan penduduk dan semakin majemuk, Peningkatan kebutuhan akibat
perubahan gaya hidup, Degradasi kearifan lingkungan, Pemanfaatan SDA
berorientasi pada pasar, Persebaran nilai-nilai baru (nilai industri),
Peralatan dan teknologi maju yang eksploitatif, Peran tokoh memudar,
Aturan adat semakin tidak dipatuhi, Peran mitologi disingkirkan oleh
pemikiran rasional, Organisasi kerja yang intensif.
Berbagai ragam hukum tatanan masyarakat Batak dahulu yang begitu
bernilai dan walaupun saling berbeda pada berbagai wilayah, tetap dapat
dirasakan masyarakat sebagai pendorong kesejahteraan dan pengayoman
hidup sosial dan ekonomi. Lama kelamaan sistim ini menjadi luntur.
Konsep siadap ari gogo, sisolisoli uhum sudah memudar.
Segala sesuatu persoalan masyarakat tidak efektif lagi diselesaikan di entitas itu Karena peran hukum Negara lebih dominan.
Hanya kecintaan kepada kearifan leluhur akan menggugah kembali
pemikiran orang Batak untuk mengembangkan nilai Habatahon itu.
Kesempatan dan peluang telah diberikan setelah diterapkannya otonomi
daerah. Kapan kesempatan ini diambil, atau akan diabiarkan hilang ?
Naung litok i hatop ma i tio
Naung robo i hatop ma i lolo
Paukpauk hudali, pagopago tarugi
Na tading taulahi, na seda tapauli
H o r a s
(sumber:tanobatak)