Karena lapar tak bisa tertahankan oleh
Sukma, ia akhirnya mengajak Ismaya untuk menikmati Mie Kocok Bandung di
depan Gedung, itu merupakan makanan yang bagi Sukma sangat enak. Pantas,
harganya pun mahal. Setelah duduk di bangku yang telah disediakan
pemilik Mie Kocok, Ismaya memesan 1 mangkok mie kocok, tapi Sukma tak
tanggung-tanggung, ia memesan tiga mangkok mie kocok. Lapar.
“Sorry, Is, aku sangat lapar, dan ingin coba makanan yang
sedikit mahal dibanding biasanya.” Sukma tersenyum sambil mengeluarkan
satu bungkus rokok dari sakunya.
“Ya mangga, Ma, mau kamu makan dengan rodanya pun, aku rela.”
Mereka berdua tertawa.
Setelah bakso tersaji, Ismaya makan
dengan tenang dan berharap makanan yang masuk ke tubuhnya menjadi
keberkahan dalam menjalani kehidupannya. Tapi Sukma, dengan lahap dan
semangatnya ia memakan Mie kocok. Setelah habis yang ada di mangkok
pertama, ia langsung melahap mie yang ada di mangkok kedua, dan kemudian
yang ketiga. Hasilnya, perutnya sudah tak kuat dan seakan-akan ingin
meledak. Kamarekaan. Di pinggir jalan itu ia tergeletak lemah
sambil mengaduh, sedangkan Ismaya hanya tertawa dan sesekali menyesap
rokoknya penuh nikmat.
“Is, sakit sekali perutku ini.” Sukma mengaduh kesakitan.
“Bagaimana tidak, kamu makan berlebihan, Ma.” Kata Ismaya enteng.
“Pantas kita jangan sampai mengikuti
syahwat perut, beginilah jadinya.” Sukma masih tergeletak di atas tanah
sambil memegangi perutnya.
“Ah jangan salahkan perut, Ma,” Sergah
Ismaya, “Memang selama ini pemahaman-pemahaman nilai budaya kita
cenderung mentabukan perut. Orang yang terlalu professional dan hanya
mencari uang, kita sebut ‘diperbudak oleh perut’. Para koruptor kita
gelari ‘hamba perut’ yang mengorbankan kepentingan Negara dan rakyat
demi kepentingannya sendiri. Padahal ia bukanlah hamba perut. Sebab
kebutuhan perut amat sederhana dan terbatas. Ia sekedar penampung dan
distributor sejumlah zat yang diperlukan untuk memelihara kesehatan
tubuh. Perut tidak pernah mempersoalkan, apakah kita memilih nasi kuning
atau hamburger, Warteg Bi Waro atau masakan Jepang dan Europa. Yang
menuntut lebih pertama-tama adalah lidah. Perut tidak menolak untuk
disantuni dengan jenis makanan cukup dengan harga lima ratus perak.
Tapi, lidah mendorong kita harus mengeluarkan sepuluh ribu, seratus
ribu, atau mungkin sepuluh juta.”
Sementara itu Sukma masih meraung kesakitan ketika mendengarkan kalimat-kalimat yang meluncur dari mulut Ismaya.
“Makan,” Ismaya melanjutkan, “yang
dalam konteks perut hanya berarti menjaga kesehatan, tapi ketika sudah
ada di kaki lidah justru diperluas menjadi bagian dari kompleks kultur,
status social, gengsi, feodalisme, kepriyayian, serta penyakit-penyakit
kejiwaan manusia lainnya. Kecenderungan ini membuat makan tidak lagi
sejati dengan konteks perut dan kesehatan tubuh, melainkan dipalsukan,
dimanipulir, atau direkayasa menjadi urusan-urusan budaya dan peradaban,
yang membuat biayanya menjadi sangat mahal. Budaya rekayasa makan ini
dieksploitasi dan kemudian dipacu oleh etos industrialisasi segala
bidang kehidupan, serta disahkan oleh kepercayaan budaya bahwa harus
selalu ada proses kreatif. Dan itu membuat orang menyelenggarakan
modifikasi budaya makan, pembaruan tekhnologi konsumsi, jenis
makanannya, panggung tempat makannya, nuansanya, music penggiringnya,
pewarnaan meja kursi, dinding hingga karaokenya. Rekayasa budaya makan
itu akhirnya juga menciptakan berbagai ketergantungan manusia. Sehingga
agar selamat sejahtera dalam keterlanjuran ketergantungan itu, manusia
rela menyunat uang proyek, bernegosisasi di bursa efek, memonopoli
sembako, tipu kanan kiri, bahkan berperang dan membunuh satu sama lain.”
“Is,” Sukma menyela, “Kalau kamu bicara terus, kapan aku dikasih minumnya???”
(Sumber: Sanghyang Mughni Pancaniti)
0 komentar:
Posting Komentar