Budaya Air
Hampir semua kota dan desa di Pasundan ini memakai nama
berawalan ci- atau cai-, yaitu air atau sungai. Hal yang mirip terjadi
pada masyarakat Melayu atau Minangkabau, yang banyak menggunakan nama
air, seperti Air Bangis dan Air Hadidi. Begitu pula di masyarakat Jawa
yang dekat dengan Sunda, seperti Banyumas dan Banyutibo.
Mengapa
air begitu vital bagi kehidupan masyarakat ini? Hal itu dapat dipahami
dari cara hidup mereka sebagai petani, baik yang berladang maupun
bersawah. Pertanian didasarkan pada air. Perkawinan antara tanah dan air
melahirkan kesuburan, kehidupan manusia itu sendiri. Kita yang sekarang
hidup dari bidang jasa (priayi atau menak modern) tidak peduli lagi
pada air kecuali buat air mineral saja. Hidup kita tidak lagi tergantung
pada air sehingga kita tidak peduli sungai kering semua.
Pada
zaman Hindu-Indonesia, air ini disebut tirta amerta. Tirta tidak lain
adalah air. Amerta adalah bentuk negasi dari merta, mortal, atau mort
yang tak lain adalah kematian. Jadi, tirta amerta adalah air
antikematian atau lazim dikenal sebagai air kehidupan. Air merupakan
berkah dan setiap berkah itu transenden, bukan dari pengalaman dan
pengetahuan manusia. Karena transenden, air bersifat sakral, suci,
murni, inti (aci/sari), halus, dan tak tampak dalam dirinya sendiri.
Huma
Air
pada masyarakat Sunda lama yang rata-rata hidup dari huma bersumber
pada air hujan dan hutan. Itulah sebabnya, dewa hujan, Patanjala, begitu
dikenal di masyarakat Sunda. Begitu pula Sunan Ambu, Yang Mulia Ibu
Langit, menjadi populer. Curah hujan yang tinggi di Pasundan adalah
berkah dari langit, yang menyuburkan padi huma, sawah, serta hutan.
Perhumaan
berbeda dengan persawahan. Huma membuka tanah pertanian secara terbatas
yang cukup untuk sebuah komunitas kecil. Komunitas terbatas di Pasundan
adalah tuntutan akibat kehidupan huma mereka, yakni berpindah 3-5 tahun
sekali untuk mencari humus baru. Itulah sebabnya, hutan cukup lestari
di Pasundan, seperti halnya di luar Jawa. Akan tetapi, pada masyarakat
sawah, hutan justru selalu dibabat untuk perluasan sawah dan hunian.
Bahwa
air adalah tirta amerta bagi masyarakat Sunda dapat disimak dari gejala
budaya mereka. Akibat wilayahnya yang berbukit, aliran-aliran sungai di
Pasundan begitu banyak. Mungkin itulah sebabnya, banyak kampung dan
kota bernama sungai, ditandai dengan awalan ci- itu. Aliran-aliran
sungai besar dan kecil sering bertemu menjadi tempuran (Jawa) atau
campuran (Bali). Inilah tempat ideal buat hunian.
Delta-delta
semacam ini lazim dibangun sebagai kabuyutan. Dalam setiap kabuyutan
selalu terkandung unsur-unsur hutan mata air dan artefak batu. Gejala
ini sesuai dengan pola pikir tritangtu Sunda, yakni resi, ratu, dan
rama. Resi adalah kebijaksanaan dan kehendak. Ratu adalah yang
menjalankan kebijaksanaan atau kehendak baik tersebut, sedangkan rama
adalah pelaku kebijaksanaan dan kehendak. Dalam lembaga sosial Sunda,
kedudukan itu dijabat oleh pemegang adat buhun, raja, atau menak
(sekarang gubernur), dan rakyat Sunda sebagai pelaku atau perwujudan
kebijaksanaan itu.
Dalam zaman berkembangnya pantun-pantun Sunda,
juga dalam ungkapan Sunda di pedesaan, inilah yang dinamakan "tiga puluh
tiga pulau". Apa yang disebut "pulau" tak lain adalah kabuyutan tempat
bertemunya dua sungai. Seperti telah diungkapkan, dalam setiap kabuyutan
selalu ada mata air yang dianggap keramat. Kabuyutan semacam itu
disebut pulo karena delta pertemuan dua sungai sering disambung dengan
saluran buatan (walungan) sehingga kabuyutan benar-benar dikepung tiga
aliran sungai dan menjadi pulau.
Air dari mata air kabuyutan ini,
yang kadang lebih dari satu, dinilai keramat dan mendatangkan berkat.
Tidak jarang, dalam ritual kampung, nasi atau bubur yang akan dijadikan
kenduri bersama harus dimasak dengan air kabuyutan. Itulah makna air
kehidupan itu, bahwa air merupakan berkah yang akan membawa kelestarian
hidup di dunia. Hidup yang sehat di dunia memungkinkan manusia
menjalankan ibadah yang diajarkan para resi dan diatur para penguasa.
Botol kemasan
Bagi
masyarakat Sunda lama, yang sisa-siasanya masih hidup di daerah
pedesaan Sunda sekarang, air bermakna kosmik perempuan. Perempuan adalah
kehidupan itu sendiri. Tidak ada perempuan, tidak ada air, tidak ada
kehidupan, yang ada hanya mortalitas. Pada masa lampau, kedudukan
perempuan Sunda sama terhormatnya dengan mereka yang menghormati air
kehidupan ini. Perempuan bukan dilihat dari segi seksualitasnya,
melainkan dari segi keibuannya. Perempuan bagi Sunda itu selalu bermakna
ambu atau ibu.
Tirta amerta atau air kehidupan ini senantiasa
berada di dekat manusia Sunda, yakni dalam bentuk balong untuk personal
dan lengkong atau situ untuk sosial. Makna sumur seperti dikenal dalam
masyarakat Jawa sebenarnya asing bagi masyarakat Sunda. Sumur Sunda tak
lain adalah mata air yang ada di mana-mana dan biasanya dikitari
pohon-pohon raksasa yang sengaja dihutankan. Di Linggarjati, Kuningan,
terkenal Tujuh Sumur Keramat yang sampai sekarang masih diziarahi.
Sumur-sumur semacam itu di masyarakat Jawa disebut belik, yang biasanya
muncul di tepi sungai bercadas.
Budaya air di Pasundan merupakan
siklus alamiah yang menyatukan curah hujan, sungai, hutan, ladang, dan
hunian. Karena ladang modern kita sudah pindah ke kantor ber-AC, kita
tak peduli lagi curah hujan (bikin banjir), hutan, sungai, balong, situ,
atau lengkong. Curah hujan bukan lagi berkat karena hutan telah gundul,
sungai telah kering, dan mata air menjadi comberan. Kita hanya mengenal
makna air dari botol kemasan air mineral.
(sumber: JAKOB SUMARDJO)
Rabu, 21 Maret 2012
Budaya Air di Sunda
20.42
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar