***** SELAMAT DATANG DI WEBBLOG HALILINTAR BUDAYA, DAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGANNYA *****

Rabu, 21 Maret 2012

Budaya Air di Sunda

Budaya Air
Hampir semua kota dan desa di Pasundan ini memakai nama berawalan ci- atau cai-, yaitu air atau sungai. Hal yang mirip terjadi pada masyarakat Melayu atau Minangkabau, yang banyak menggunakan nama air, seperti Air Bangis dan Air Hadidi. Begitu pula di masyarakat Jawa yang dekat dengan Sunda, seperti Banyumas dan Banyutibo.
Mengapa air begitu vital bagi kehidupan masyarakat ini? Hal itu dapat dipahami dari cara hidup mereka sebagai petani, baik yang berladang maupun bersawah. Pertanian didasarkan pada air. Perkawinan antara tanah dan air melahirkan kesuburan, kehidupan manusia itu sendiri. Kita yang sekarang hidup dari bidang jasa (priayi atau menak modern) tidak peduli lagi pada air kecuali buat air mineral saja. Hidup kita tidak lagi tergantung pada air sehingga kita tidak peduli sungai kering semua.
Pada zaman Hindu-Indonesia, air ini disebut tirta amerta. Tirta tidak lain adalah air. Amerta adalah bentuk negasi dari merta, mortal, atau mort yang tak lain adalah kematian. Jadi, tirta amerta adalah air antikematian atau lazim dikenal sebagai air kehidupan. Air merupakan berkah dan setiap berkah itu transenden, bukan dari pengalaman dan pengetahuan manusia. Karena transenden, air bersifat sakral, suci, murni, inti (aci/sari), halus, dan tak tampak dalam dirinya sendiri.
Huma
Air pada masyarakat Sunda lama yang rata-rata hidup dari huma bersumber pada air hujan dan hutan. Itulah sebabnya, dewa hujan, Patanjala, begitu dikenal di masyarakat Sunda. Begitu pula Sunan Ambu, Yang Mulia Ibu Langit, menjadi populer. Curah hujan yang tinggi di Pasundan adalah berkah dari langit, yang menyuburkan padi huma, sawah, serta hutan.
Perhumaan berbeda dengan persawahan. Huma membuka tanah pertanian secara terbatas yang cukup untuk sebuah komunitas kecil. Komunitas terbatas di Pasundan adalah tuntutan akibat kehidupan huma mereka, yakni berpindah 3-5 tahun sekali untuk mencari humus baru. Itulah sebabnya, hutan cukup lestari di Pasundan, seperti halnya di luar Jawa. Akan tetapi, pada masyarakat sawah, hutan justru selalu dibabat untuk perluasan sawah dan hunian.
Bahwa air adalah tirta amerta bagi masyarakat Sunda dapat disimak dari gejala budaya mereka. Akibat wilayahnya yang berbukit, aliran-aliran sungai di Pasundan begitu banyak. Mungkin itulah sebabnya, banyak kampung dan kota bernama sungai, ditandai dengan awalan ci- itu. Aliran-aliran sungai besar dan kecil sering bertemu menjadi tempuran (Jawa) atau campuran (Bali). Inilah tempat ideal buat hunian.
Delta-delta semacam ini lazim dibangun sebagai kabuyutan. Dalam setiap kabuyutan selalu terkandung unsur-unsur hutan mata air dan artefak batu. Gejala ini sesuai dengan pola pikir tritangtu Sunda, yakni resi, ratu, dan rama. Resi adalah kebijaksanaan dan kehendak. Ratu adalah yang menjalankan kebijaksanaan atau kehendak baik tersebut, sedangkan rama adalah pelaku kebijaksanaan dan kehendak. Dalam lembaga sosial Sunda, kedudukan itu dijabat oleh pemegang adat buhun, raja, atau menak (sekarang gubernur), dan rakyat Sunda sebagai pelaku atau perwujudan kebijaksanaan itu.
Dalam zaman berkembangnya pantun-pantun Sunda, juga dalam ungkapan Sunda di pedesaan, inilah yang dinamakan "tiga puluh tiga pulau". Apa yang disebut "pulau" tak lain adalah kabuyutan tempat bertemunya dua sungai. Seperti telah diungkapkan, dalam setiap kabuyutan selalu ada mata air yang dianggap keramat. Kabuyutan semacam itu disebut pulo karena delta pertemuan dua sungai sering disambung dengan saluran buatan (walungan) sehingga kabuyutan benar-benar dikepung tiga aliran sungai dan menjadi pulau.
Air dari mata air kabuyutan ini, yang kadang lebih dari satu, dinilai keramat dan mendatangkan berkat. Tidak jarang, dalam ritual kampung, nasi atau bubur yang akan dijadikan kenduri bersama harus dimasak dengan air kabuyutan. Itulah makna air kehidupan itu, bahwa air merupakan berkah yang akan membawa kelestarian hidup di dunia. Hidup yang sehat di dunia memungkinkan manusia menjalankan ibadah yang diajarkan para resi dan diatur para penguasa.
Botol kemasan
Bagi masyarakat Sunda lama, yang sisa-siasanya masih hidup di daerah pedesaan Sunda sekarang, air bermakna kosmik perempuan. Perempuan adalah kehidupan itu sendiri. Tidak ada perempuan, tidak ada air, tidak ada kehidupan, yang ada hanya mortalitas. Pada masa lampau, kedudukan perempuan Sunda sama terhormatnya dengan mereka yang menghormati air kehidupan ini. Perempuan bukan dilihat dari segi seksualitasnya, melainkan dari segi keibuannya. Perempuan bagi Sunda itu selalu bermakna ambu atau ibu.
Tirta amerta atau air kehidupan ini senantiasa berada di dekat manusia Sunda, yakni dalam bentuk balong untuk personal dan lengkong atau situ untuk sosial. Makna sumur seperti dikenal dalam masyarakat Jawa sebenarnya asing bagi masyarakat Sunda. Sumur Sunda tak lain adalah mata air yang ada di mana-mana dan biasanya dikitari pohon-pohon raksasa yang sengaja dihutankan. Di Linggarjati, Kuningan, terkenal Tujuh Sumur Keramat yang sampai sekarang masih diziarahi. Sumur-sumur semacam itu di masyarakat Jawa disebut belik, yang biasanya muncul di tepi sungai bercadas.
Budaya air di Pasundan merupakan siklus alamiah yang menyatukan curah hujan, sungai, hutan, ladang, dan hunian. Karena ladang modern kita sudah pindah ke kantor ber-AC, kita tak peduli lagi curah hujan (bikin banjir), hutan, sungai, balong, situ, atau lengkong. Curah hujan bukan lagi berkat karena hutan telah gundul, sungai telah kering, dan mata air menjadi comberan. Kita hanya mengenal makna air dari botol kemasan air mineral.
(sumber: JAKOB SUMARDJO)

0 komentar:

Posting Komentar